MUSLIMAH – Pernahkah kita bertanya: hijab yang kita kenakan setiap hari, untuk bekerja, kuliah, salat, mengaji, hingga berhaji, apakah benar-benar halal dari ujung benang hingga bahan pewarnanya?
Pertanyaan ini mencuat belakangan setelah viralnya klaim “hijab halal pertama di Indonesia” yang memicu kontroversi di media sosial. Kontroversi soal “hijab halal” baru-baru ini mencuat di media sosial dan publik setelah seorang figur publik, Ibnu Wardani, mengklaim bahwa hijab buatan ibunya merupakan “hijab halal pertama di Indonesia.” Pernyataan tersebut disampaikan kepada menteri terkait dengan keyakinan bahwa proses produksinya telah sesuai dengan syariat Islam. Klaim ini, meskipun dimaksudkan sebagai bentuk edukasi dan ketenangan bagi konsumen Muslim, justru memicu perdebatan panas. Sebagian menganggapnya sekadar gimmick pemasaran, namun sebagian lainnya mulai merenung: apakah selama ini kita cukup peduli terhadap kehalalan pakaian yang kita pakai untuk beribadah?
Lebih dari Sekadar Penutup Aurat
Sebagai Muslimah, tentu kita sepakat bahwa hijab bukan sekadar penutup aurat. Ia adalah simbol ketaatan, identitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai Islam. Namun, pertanyaannya: Apakah cukup hanya dengan menutup bentuk tubuh jika bahan, proses produksi, atau distribusinya belum sesuai syariat?
Bagi sebagian besar Muslimah, mengenakan hijab adalah bentuk ibadah dan ekspresi ketaatan kepada Allah. Namun, selama ini hijab sering kali dipahami hanya dari sisi fungsi menutup aurat atau dari perspektif mode dan estetika. Padahal, dalam Islam, pakaian tidak hanya dinilai dari bentuknya, tetapi juga dari asal-usul, cara diperoleh, dan proses pembuatannya.
Konsep halal dalam pakaian, termasuk hijab, adalah kelanjutan logis dari prinsip thayyib (baik dan layak) sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an. Halal bukan hanya bermakna “boleh” atau “tidak najis”, tetapi juga menyiratkan kemurnian, kebersihan, keadilan, dan tanggung jawab moral. Dalam Islam, halal bukan hanya berlaku pada makanan. Halal adalah prinsip hidup. Sesuatu yang kita kenakan, gunakan, konsumsi, hingga hasil usaha kita, semuanya harus bersumber dari yang halal dan thayyib (baik). Termasuk pakaian yang digunakan sehari-hari dan lebih utama lagi jika digunakan dalam salat, haji, umrah, atau kegiatan ibadah lainnya. Maka, bagaimana mungkin kita merasa tenang mengenakan hijab jika ternyata diproduksi dengan cara mengeksploitasi tenaga kerja perempuan, mengabaikan hak-hak buruh, atau bahkan menggunakan anak-anak dalam proses produksinya?
Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis shahih riwayat Muslim, sebagaimana dikutip dalam buku Agar Doa Selalu Dikabulkan Allah oleh Muhammad Syafie el-Bantanie:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.’ Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya?”
(HR. Muslim)
Hadis ini memberi pelajaran mendalam: pakaian haram dapat menjadi penghalang terkabulnya doa. Maka, bagaimana mungkin seorang Muslimah berdoa dan bersujud dan ingin mendekat kepada Allah dengan hijab sebagai simbol ibadah, sudah semestinya hijab tersebut berasal dari sumber yang halal dan suci.
Hijab halal bukan hanya “bebas babi”, tapi juga menyentuh dimensi etika sosial, keadilan gender, dan keberlanjutan lingkungan. Hijab halal seharusnya mendukung keadilan dalam produksi, distribusi yang transparan, serta etika bisnis yang islami. Mari kita ambil contoh konkret. Banyak kain di pasaran menggunakan zat pewarna sintetis berbasis bahan kimia, bahkan tak jarang dari turunan hewani yang tidak jelas kehalalannya. Beberapa tekstil menggunakan emulsifier berbasis lemak hewani, atau pelapis berbahan gelatin yang tidak diketahui sumbernya. Dalam proses finishing, terdapat pula penggunaan enzim atau penguat dari bahan najis, yang jika tidak ditelusuri secara cermat, dapat menimbulkan keraguan terhadap kehalalan produk hijab tersebut.
Tak hanya bahan, rantai pasok global juga menjadi tantangan besar. Banyak produk fashion yang bahan bakunya dipasok dari negara dengan sistem produksi yang tidak memenuhi standar halal. Tanpa adanya sistem sertifikasi yang kredibel dan profesional, sulit bagi konsumen Muslim untuk memastikan bahwa hijab yang mereka pakai memang benar-benar halal dalam arti menyeluruh.
Maka, hijab yang dikenakan seorang Muslimah seharusnya tidak hanya menutup tubuh, tetapi juga bebas dari unsur yang dilarang oleh syariat, baik dalam bahan bakunya, proses pewarnaannya, finishing-nya, hingga distribusinya.
Di tengah berkembangnya industri fashion Muslim, istilah “hijab halal” memunculkan respons beragam. Ada yang menyambut sebagai bentuk kemajuan kesadaran syariah, namun tak sedikit pula yang menilainya sebagai sensasi atau gimmick. Padahal, dalam perspektif syariat dan perlindungan konsumen Muslim, sertifikasi hijab halal justru menjadi bagian dari pemurnian ibadah dan tanggung jawab moral. Sebagaimana disampaikan oleh Ardiman, Direktur Eksekutif Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI), menegaskan bahwa konsep hijab halal sangat penting untuk dikembangkan di Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.
“Hijab halal bukan sekadar tren, tapi bentuk tanggung jawab produsen terhadap konsumen Muslim. Selama ini, perhatian publik lebih banyak tertuju pada makanan atau kosmetik halal, padahal pakaian, terutama yang digunakan untuk ibadah juga menyentuh aspek ibadah. Konsumen berhak tahu dari mana bahan hijab berasal, bagaimana proses produksinya, dan apakah sesuai dengan prinsip syariat,” ujar Ardiman.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah tersulut oleh perdebatan, tetapi memahami esensi dari halal sebagai jaminan kepastian, kebersihan, dan kehalalan dari awal hingga akhir. Inilah mengapa gerakan menuju hijab halal menjadi penting. Ia memberikan kesadaran baru bahwa ketaatan tidak berhenti pada niat berpakaian syar’i, melainkan harus diiringi dengan iktikad menjaga kesucian produk yang menempel di tubuh kita. Ketika hijab dipakai untuk salat, untuk menunaikan haji atau umrah, atau dalam kegiatan dakwah, maka kepastian akan kehalalannya menjadi jauh lebih relevan.
Peran Strategis Pemerintah: Dari Perlindungan Konsumen hingga Regulasi Halal Fashion
Sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk membangun ekosistem halal yang tidak hanya terbatas pada makanan, tetapi juga menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan umat, termasuk pakaian dan fashion.
Payung hukum terkait hal ini sebenarnya sudah ada melalui UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) sejatinya telah membuka ruang bagi wajib halal tidak hanya pada makanan dan minuman, tetapi juga produk nonpangan seperti kosmetik, obat, hingga pakaian. Dalam Pasal 1 ayat (1) ditegaskan:
“Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.”
Kata “barang gunaan” inilah yang menjadi dasar hukum bahwa produk seperti hijab dapat dan perlu disertifikasi halal. Undang-undang ini menyebutkan bahwa kewajiban sertifikasi halal meliputi barang gunaan yang dipakai dan digunakan oleh masyarakat. Ini berarti, produk seperti hijab, mukena, gamis, dan sajadah termasuk dalam cakupan regulasi halal, meskipun implementasinya belum menyeluruh. Namun hingga kini, regulasi teknis untuk kategori pakaian atau tekstil masih belum diberlakukan secara luas. Inilah yang perlu didorong.
Dalam hal ini, pemerintah tidak berjalan sendiri. Gerakan sipil seperti Fashion Halal Initiative sebuah gerakan global berbasis di Indonesia yang mendorong penerapan prinsip halal dalam industri fashion secara menyeluruh. Di bawah inisiatif ini, lahir Global Fashion Halal Standard (GFHS) yang menjadi rujukan bagi sertifikasi halal produk fashion. Acuan ini telah membuka jalan dan menyediakan platform sertifikasi yang kredibel, edukatif, dan berpihak pada nilai-nilai syariat. Kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan gerakan masyarakat adalah kunci untuk memperkuat sistem halal fashion nasional. Dengan kerangka kebijakan yang kuat, dukungan masyarakat, dan standar sertifikasi yang kredibel, Indonesia berpeluang menjadi pusat halal fashion dunia, bukan hanya karena jumlah penduduk Muslimnya, tetapi karena kualitas sistemnya.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Tentu saja, tidak semua pihak langsung menerima konsep hijab halal. Beberapa menyebutnya berlebihan, bahkan menuduhnya sebagai bentuk komersialisasi agama. Namun, kesadaran baru selalu datang dengan resistensi. Apa yang hari ini dianggap kontroversial, bisa jadi menjadi standar umum di masa depan, sebagaimana dulu orang juga meragukan pentingnya label halal pada produk-produk non-makanan.
Di tengah meningkatnya kesadaran konsumen Muslim akan pentingnya produk halal secara menyeluruh, diskursus soal hijab halal perlu disambut sebagai momen edukasi, bukan perpecahan. Ini adalah saat di mana umat Islam tidak hanya ingin berpakaian Islami, tapi juga memastikan bahwa pakaian yang dikenakan memang selaras dengan nilai-nilai Islam dalam bentuk, niat, maupun prosesnya.
Kontroversi hijab halal sejatinya membuka ruang dialog yang sangat penting: bahwa busana Muslim tidak sekadar soal gaya, tapi juga soal akidah dan tanggung jawab etis. Di era modern ini, kehalalan bukan hanya urusan dapur, tapi juga lemari pakaian.
Sebagaimana makanan dan kosmetik halal telah menjadi standar global, mungkin sudah waktunya kita mulai bertanya: “Apakah hijabku benar-benar halal?”







